siapa ia? bersandar dalam sepi. menutup wajah akan hina yang ia takuti.
ia selalu mengucapkan "aku tak kuasa" bahkan terkadang ia mengatakan "terlalu keras, keras hidup ini"
seringkali ku menghampirinya, memberikan beberapa makanan yang hanya berkisar untuk memenuhi hasrat, bukan memenuhi kekenyangan.
dimana ? dimana keluarganya? tak perdulikah mereka padanya.
tak tega aku melihatnya. dingin diluar, dan hanya kaus oblong berwarna hitam yg sudah tak layak. dan seuntai rok pendek selutut dengan sandal jepit yang sudah kumuh. hanya itukah yang dapat melindunginya dari dinginnya dunia luar?
ia hanya akan keluar dari tempat persembunyiannya saat ia benar-benar merasa tak sanggup lagi menahan lambung yang menyiksanya meminta makan.
ia keluar dengan kerut-kerut diwajahnya, cara berjalannya yang sangat lemas seperti tak mempunyai tulang yang kuat untuk menopangnya.
ia berjalan mengelilingi kota dengan menyodorkan tangannya dan mengatakan "saya lapar". ya tuhan, aku ingin menangis menatapnya. tapi tak dapat ku lakukan apa-apa. karna keluargaku juga termasuk ekonomi sulit.
dapatkah dibayangkan wajahnya. wajah muram nan suram, tubuh rontok akan kejam dan siksanya dunia ini. ia diberikan hidup tanpa bisa mendapatkan kebahagiaan sedikitpun. ia meneteskan air mata sembari memegang erat perutnya. ia menangis, menangis ditengah hiruk pikuk padatnya kota dan pelitnya masa.
apa yang dapat ku ucapkan? hanya doa "tuhan bantu ia, tuhan bantu ia, tuhan tolong bantu ia"
ia mengatakan "aku lapar" dengan air mata yang tak bisa ku bayangkan sederas apakah jika aku yang mengalaminya. dari pagi hingga malam berapakah penghasilannya? ia pulang dengan wajah muram, mata yang sembab dan merah. dengan badan yang layu, dan hanya membawa lelah dan bau kekejaman dunia.
duduk bersila, dan kembali menghitung uangnya. 1 keping, 2 keping, 3 keping dan seterusnya hingga bertemu ujung ia mengatakan "7 keping logam. hhh~ hanya 7 kepingkah yang harus aku terima hari ini tuhan? segitu kejamkah hamba-hambamu?" namun tak ada yang bisa ia lakukan lagi. hanya menghela nafas, pasrah, bersyukur dan berusaha menerima.
aku shalat di malam hari, ketika selesai aku memandang jendela dan masih mengenakan mukena ku. kulihat wanita itu berkeliling kebingungan. segera ku lepas mukenaku dan berlari menghampirinya.
"apa? apa yang kau lakukan?" tanyaku
"siapa kau? manusia? makhluk kejam keji pelit nan tak tahu dirikah?" tanyanya menusuk hatiku
"tolong jangan kau hina aku. aku hanya bertanya. dan jika kau keberatan akan kehadiranku izinkan aku membantumu sedikit saja. lalu aku berjanji akan pergi dan tak memperhatikanmu lagi" jelasku dengan rasa sedih yang terdesak kutahan didalam benak ini.
"apa? kau memperhatikanku? malaikat suci manakah yang berbaik hati mengirimkan raganya kehadapanku sekarang ini. gadis cantik, aku ingin shalat. namun takku temukan seorang dermawan yang memberiku air sedikit saja untukku berwudhu"
"ibu..." ucapku terputus tiba-tiba dan ia mengatakan "apa? ibu? tak usah kau memanggilku ibu. tak pantas bagiku untuk menerima gelar itu." "lalu harus ku panggil apa kau?" "terserah kau sajalah"
kuteruskan kalimatku yang sempat terputus tadi.
"aku masih memiliki satu botol air mineral di rumah. kau boleh mengambil wudhu dari air itu"
"tidak terima kasih. aku tak ingin merepotkan mu. apalagi air itu pasti sangat berguna untuk dahaga mu"
tuhan mengapa engkau ciptakan makhluk tua yang cantik hatinya ini? andaikan dunia berhati mulia sepertinya. aku yakin, takkan mungkin ada derajat kaya maupun miskin.
"tak apa. tunggu disini. akan ku izinkan pada ibuku dan mengambil air itu"
aku pun segera memasuki rumah kecilku, dan menghampiri ibu yang tengah terbaring lemah karna penyakit yang entah apa namanya. karna tak punya uang aku sama sekali tak bisa membawa ibu periksa ke dokter.
"ibu, di luar ada wanita tua yang baik. kasian ia, ingin shalat namun tak bisa menemukan air untuk berwudhu. ia shalat hanya dengan beralaskan tanah dan berbalut baju kumuhnya."
sembari batuk ibu lalu terbangun dan mengelus rambutku. dan mengatakan "bawa ia kesini nak"
ketika ibu dan wanita tua itu bertatap muka. wanita tua itu memulai percakapan.
"maafkan aku merepotkanmu. anakmu memaksaku untuk menerima kebaikannya. dan aku tak tau harus menolak seperti apalagi"
"anakku. ambilkan apa yang akan engkau berikan padanya. tak usah kau bertanya kesediaanya untuk menerima itu"
bergegas ku menuju ruangan kecil yang sama sekali tak berpintu. tak ada apapun yang bisa menutupi ruangan itu. ruangan yang kumuh, sangat terlihat jelas tumpukan batu bata di setiap sisinya.
segera ku ambil sebotol air mineral dan sepasang mukena. aku juga tak mempunyai sajadah. aku menggunakan karung sebagai alas. sedangkan ibu, ia sembahyang dengan cara berbaring. karna tubuhnya tak kuasa lagiberdiri.
aku melihat senyuman indah tersungging di wajah wanita tua itu. senyuman yang baru kali ini ku lihat dari wajah kusamnya. seakan-akan ia menemukan pintu dari semua kekejaman yang ia terima di dunia ini.
seusai ia shalat ia mengucapkan terimakasih terlebih dahulu lalu pergi menuju tempatnya semula.
aku ingin mengajaknya tinggal di rumah. namun ibu melarangku, ia mengatakan "jangan pernah memaksakan keinginanmu sedangkan orang lain tak ingin melakukan itu. biarkan ia menjalani hidupnya jika ia merasa ia mampu melakukannya sendiri"
akupun berfikir lagi, apa salahnya jika aku membantunya. tapi mungkin apa yang dikatakan ibu adalah yang terbaik.
keesokannya aku menatapi jendela, kembali mataku berpencar untuk mencari wanita tua itu. tapi sama sekali tak ku temui beliau. segera aku keluar rumah dan mencari di seluruh penjuru sisi. namun tetap jawabannya "NIHIL"
ketika aku menghampiri setumpuk gubuk besar yang menyerupai bukit. aku melihat seorang wanita terbaring di dalamnya. aku ingat tadi malam sempat ku mendengar rintihan seseorang. seperti tersakiti lalu menangis perlahan .namun takku pedulikan suara itu. kembali ku terlelap.
dan kini kembali kusambungkan kisahku semalam dengan kisah ini. aku menghampiri wanita tua itu dan menggoyangkan badannya berharap ia akan tersadar. air mataku menetes saat ku lihat wajahnya yang memucat dan badannya menetes. ku panggil seorang lelaki dewasa di sebrang sana dan menyuruhnya memeriksa wanita itu.
dan yang membuatku menyesak yaitu saat ia mengatakan "innalillahi wainnaillahi rojiun" tak sanggup lagi bagiku untuk menahan tumpukkan airmata yang hampir membunuhku dengan kekejaman dan kesedihan ini. aku tak tahu harus apa.
cuaca di luar begitu tak
ibu memaksaku untuk kembali ke rumah. aku tak dapat berfikir 2 kali untuk meninggalkan wanita tua ini.
ketika malam tiba aku bersiap untuk tidur. aku berusaha untuk tidak melirik keluar jendela. kini aku merasa benar-benar hina, kejam, dan jahat. tapi aku sungguh tak tau apa yang harus aku lakukan. "tuhan maafkan aku" doaku dalam tangisan.
keesokannya. aku memaksakan diri untuk ketempat dimana wanita tua itu berbaring. alhasil takku temukan wanita itu di penjuru sisi. yang aku temukan hanya sebuah kalung bertuliskan "اللّهُ"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar